All posts by kembangbakung

About kembangbakung

a wife, a mother, and a child who shares her daily stories

a piece of childhood

… … … .

Mbah Numblik sudah sangat lanjut usianya. Dia tinggal di sebuah rumah besar tetapi menempati kamar di pojok dekat dapur. Di kamarnya hanya ada dipan beralas papan dan bantal lusuh. Tak ada barang harta benda miliknya. Kamarnya dijadikan tempat menyimpan beras panenan,  tampah-tampah penjemuran yang sedang tak dipakai, tak ubahnya gudang atau lumbung. .

Mbah selalu bangun pagi-pagi sebelum seisi rumah terjaga. Ia menjerang air lekas-lekas sebelum Sang Ratu Dapur dengan geram menghardiknya. Mbah tak pernah membantah,  tak bersuara kencang,  hanya menggerundel kesal sesekali. Dan kalau itu terdengar, Sang Ratu akan memarahi dan mencubit pinggangnya yang sudah kian bengkok termakan jaman. Siangnya dia akan dihukum dijatahi makan separuh porsi. Tapi Mbah memang tak pernah perlu makan banyak.Tubuhnya kurus tapi tetap kuat terbalut kain kebaya yang lusuh tak pernah dapat ganti baru. .

Mbah bagai sebatang kara. Suami sudah tak ada. Kakak beradik tak ada. Ia tinggal dengan anak tertua dan istri serta anak-anaknya yang berarti adalah cucunya. Tetapi setiap hari ia hanya berhubungan dengan Sang Ratu dalam pola majikan dan kacung. Anaknya,  yang adalah suami Sang Ratu, jarang mengajaknya bicara bagai ibu dan anak. Mbah memang sangat-sangat lugu. Sekolah tak sempat tinggi di jaman penjajahan Belanda. Sulit baginya menjawab sang anak yang pernah mengecap bangku dan menjadi pasukan PETA. Tak pula ia memenangkan pembelaan  jika tengah dimurkai Sang Ratu. Cucu-cucu tak berbincang dengannya bagai orang asing. Hidupnya hanya menanti waktu. .

Suatu hari yang ia tunggu akhirnya tiba. Ia yang selalu tahan sakit dan siksa, hanya perlu alasan batuk untuk berpulang. Di hari itu kumendengar obituari bagai berita basi saja dari seberang pulau. Tak ada keterkaitan personal,  padahal ia adalah mbah buyutku. Sang Ratu adalah nenekku. Rumah itu adalah rumah kelahiran ayahku. .

Kisah ini kesaksianku semasa berlibur dan menginap di sana. Semata-mata hanya dalam pandanganku. Kenangan atas cerita kekerasan dalam keluarga, yang semoga inilah satu-satunya. .

@30haribercerita #30haribercerita #30hbc2003 #30hbc20slr #fiksi

tepi-tepi kisah

… dan demikianlah kisah kita

aku dan kamu

jiwa yang melanglang dan menemukan

yang tak banyak bisa berbuat tetapi mereguk pembelajaran satu dari yang lainnya

.

Kau benar untuk hal ini, tak ada yang salah dan tak ada kebetulan.

Kau pasti tahu badai yang menerjangku silih berganti. Seperti juga pusaranku menarikmu datang, menjauh, datang lagi… Hal-hal merusak yang harus kita bendung, atau dialirkan ke kali-kali kecil landai di perjalanan ini.

.

… dan demikianlah kita

kisah pengembaraan yang tidak lagi timpang.

#30hbc19sampaijumpa

Tiga ratus tiga puluh lima hari lagi
Ngga lama koq
Tak akan ada yang hilang
Tak akan ada yang berubah
Tak ada juga yang perlu dirisaukan

Tiga puluh hari bagaikan setetes air dalam gelas setahun
Tiga jam lagi kau pun lupa
tentang apa-apa di antara kita
Tapi masih ada tagar-tagar #30haribercerita dan #30hbc19 yang bisa dipanggil
kalau rindu itu datang
kalau kisah kita sendiri sedang membosankan untuk disimak.

Tiga ratus tiga puluh lima hari lagi
Kita akan ketemu lagi
Sampai jumpa di sana

Cat: à bientôt (Prancis) = sampai jumpa

@30haribercerita
#30hbc1930
#30hbc19sampaijumpa
#30hbc19slr

#30hbc19lanjutkancerita

Harap tenang, Budi dan ibunya sedang menyelesaikan susunan kepingan terakhir dari teka-teki. Sejak seminggu kemarin mereka disibukkan pekerjaan ini di luar kewajiban mereka menyerahkan setoran ke mandor petak. Tentu saja ini dilakukan diam-diam tanpa sepengetahuan siapapun.

Kisahnya bermula dari Budi yang putus sekolah karena kurang biaya dan akhirnya turun tangan membantu Ibu memilah sampah di tempat penimbunan sampah akhir. Padahal Budi ingin sekolah sampai tinggi. Meruncingkan kemampuannya berbahasa Jepang dan menjadi animator lulusan Negeri Sakura. Apa daya, inilah akhirnya yang ia bisa, sambil membacai kardus-kardus atau kertas pembungkus berlabel huruf katakana hiragana.

Suatu hari di antara tumpukan yang disiangi bersama Ibu, Budi menemukan buntalan bubble wrap yang tidak biasa. Warna kebiruan. Yang lebih aneh, setelah dilihat seksama, ada kelap-kelip lampu led di dalamnya. Budi segera memungut dan menyembunyikan buntalan itu di dasar gerobak dinasnya. Malam hari, ketika kegiatan di TPA berakhir, dan lampu-lampu neon bedeng pemulung mulai dinyalakan, Budi dan Ibu membongkar buntalan itu. Ada secarik kertas ditulisi dengan tangan, beraksara Jepang. Sebuah surat yang menyebutkan isi buntal itu adalah kucing dari masa depan. Keduanya saling berpandangan heran. Lebih lanjut dikatakan bahwa sinyal cahaya yang dipancarkan memang dimaksudkan untuk mencari bantuan kepada siapapun yang menemukan.

Budi dan Ibunya pernah mendengar legenda tentang Kucing dari Masa Depan yang bisa muncul ke dunia dengan melakukan lompatan kuantum. Hanya Ibu tidak mengerti istilah canggih itu berarti apa, sementara Budi pernah sempat membaca sedikit. Lebih kepada mereka berdua memerlukan pengisi waktu selain memulungi dan memilah sampah maka mereka memutuskan untuk merangkai serpih-serpih dalam buntalan itu. Bisa jadi ini kucing istimewa yang bisa mengabulkan permohonan. Mungkin. Pastinya ini yang disebut kucing dalam karung, yang biasanya bisa bikin kecele. Tapi yang paling pasti ia berbeda dari aneka kucing di jalan. Bagaimana jika teka-teki ini tak berujung memuaskan angan-angan, Budi dan Ibunya tak lagi peduli.

Maka sejak hari itu, mereka punya kesibukan lain. Kesibukan yang ditunggu-tunggu dalam sehari. Dalam senyap mereka menyusunnya, tanpa banyak bicara, dengan kepala penuh tanya dan sangka. Merakit angan-angan yang tak pasti, bermodalkan petunjuk selembar surat berbahasa asing. Hingga di malam ini, saatnya merampungkan keping terakhir. Setelah saling berpandangan seolah saling bersepakat untuk siap menghadapi kenyataan hidup, Ibu menempelkan keping terakhir sampah dari buntalan asing itu. Plek. Beberapa saat senyap. Tak ada apa-apa. Namun detik berikutnya, sesuatu berpendaran. Semakin membesar. Menyala terang kebiruan. Lalu membuncah menyilaukan.

“Pintu ke mana sajaaa!”, pekik serak sebuah suara. Budi dan Ibu terlonjak kaget. Sesosok muncul dari tengah cahaya. Doraemon telah tiba di Bumi lagi.

@30haribercerita
#30haribercerita
#30hbc19lanjutkancerita
#30hbc1927
#30hbc19slr

[30hbc1926]

Langkah terjauh yang pernah kuambil. Pagar rumahnya sudah tampak. Orang-orang berkerumun di luar dan beberapa di luar pagar itu. Oh, debar jantungku tak karuan. Terpikir untuk balik badan saja, sebelum tepergok seseorang yang mengenalku.

Langkah terjauh yang pernah kuambil. Sudah tanggung menempuh dua jam perjalanan untuk sampai ke sini, masa harus mundur sekarang? Nekad. Setelah selalu berhati-hati tak terseret begini jauh oleh perasaan. Setelah memutuskan untuk tidak melanjutkan impian. Hari ini kubergegas mendatangi rumahnya hanya karena pesan singkatnya. “ibu ingin ketemu kamu”, tulisnya pada pesan tadi malam. Sebelum kabar terakhir tadi pagi. Lalu perjalananku dari tadi dipenuhi dengan kilasan-kilasan peristiwa seperti slide foto tentang ini semua.

Pintu pagar kudorong. Kulalui para tetamu dalam busana yang sendu. Mendekati pintu rumah, kudapati dia sedang bicara dengan sekelompok tamu. Di sebelahnya, ya aku mengenalinya, tunangannya yang cantik. Ia menggenggam tangan si lelaki, turut meningkahi bicara-bicara itu. Lelaki itu seketika menyadari kehadiranku. “Masuk Tris…”, ucapnya dari kejauhan sambil mengarahkan tangan ke dalam rumah. Ia menyuruhku, atau lebih tepatnya memintaku masuk tanpa ia temani. Ia masih terus di kerumunan itu.

Aku melepas alas kaki, beringsut masuk melewati tetamu yang bersimpuh sambil memangku buku doa. Dan mereka merapalnya. Kudekati Ibu. Ia tengah dirapikan dengan segala yang bisa dikenakan dan dibawa pergi. Semakin kudekati ketika orang terakhir menaikkan kain renda. Sejenak kubaca doa dan meresapkan sesal. Kudekati wajahnya yang pejam. “Maaf bu, aku terlambat. Tapi betul, aku mencintai anak Ibu.” Air mataku berderai di ujung kalimat. Tak lama aku undur. Entah apakah langkah ini masih berarti untuk kutempuh atau tidak. Setidaknya itikad kuat ini adalah yang terakhir bisa kuunjukkan padanya, pada Ibu.

….

Dua tahun kemudian, aku kembali ke sisi nisan Ibu. Menziarahinya. Diantar lelaki itu. Ia berdiri agak jauh sambil memangku seorang bayi. Anak kami.

@30haribercerita
#30haribercerita
#30hbc1926
#30hbc19slr

#30hbc19bumi

Selamat pagi, Bu…
Apa kabarmu? .

Gimana sakit-sakit pinggangmu? Mudah-mudahan sudah tidak terlalu parah ya… Dan mudah-mudahan kami sudah bosan mengebor dan mengeruki cerukmu demi bahan bakar. Eh, apa Ibu sudah dengar kalau beberapa manusia pintar sudah berhasil mendapatkan daya dengan menyerap panas matahari dan menangkapi angin? .

Bu, aku lagi sibuk. Sekarang aku punya anak, yang harus diasuh dan disayang; Diberi makan dan diberi pelukan. Baru satu, tapi aku sudah repot. Bagaimana jadi dirimu ya, Bu? Yang harus memelihara begini banyak penghuni? Dan satu-satu banyak sekali ingin dan nafsunya? Tapi dirimu selalu rahim. Ya, seperti rahim. Bahkan kau tetap menerima mereka, yang sekalipun jahat padamu, kau tetap peluk jasadnya nanti. .

Nah, karena sibukku itu, aku belum jalan-jalan lagi. Terakhir aku menikmati derau bisikmu, aku berada di ketinggian 3726 meter di atas permukaan laut. Di parasmu nan cantik paripurna tiada dua. Kabarnya, jalan menuju ke sana sudah runtuh, karena pada suatu hari kau sedikit geram dan gemetar. .

Aku rindu memesraimu, Bu. Jangan dulu kau lanjutkan murka dengan batuk-batuk batu dan api. Sedikit peringatkan kami, tak apa. Supaya tak menerus membawamu lebih cepat pada kerentaan. Supaya menyayangimu dengan menanam, membiarkan satwa berbiak, dan melupakan teknologi plastik. .

Salam sayangku untukmu, Ibu Bumi. .

@30haribercerita
#30haribercerita
#30hbc1923
#30hbc19bumi
#30hbc19slr

Pulang Diantar

Tujuanku adalah stasiun Cilebut, satu titik sebelum stasiun besar terakhir. Tapi tak bisa keluar karena harus menunggu hujan reda. Kuputuskan untuk ikut kereta ke Bogor lalu nanti balik lagi. Mudah-mudahan cuaca sudah teduh nanti sekembaliku.

Kereta sudah lega, gerbong hampir kosong. Di hadapanku duduk seorang mbak, tampak kusut masai pulang bekerja, sepertiku. Eh, dia tersenyum. Kusapalah “pulang, mba?”. Dijawab dengan tersenyum lagi. “Hujannya Alhamdulillah ya… Ini saya harusnya turun Cilebut. Tapi karena deras, saya ikut dulu aja ke Bogor. Nanti balik lagi”, koq ya aku langsung cerita kenapa aku masih di gerbong ini. Mungkin sudah perlu pelepasan aja akibat hari yang lelah. “Oh, sama. Saya juga”, tak kusangka jawaban dia. “Hooo, begitu? Rumahnya di Cilebut, di mana?”, tanyaku lagi. “Tuh, di situ”, kata dia sambil menunjuk ke arah belakangku, menembus kaca ke arah malam yang gelap. Hujan masih saja lanjut berderai.

Akhirnya sampai ke Bogor. Kami berdiam hingga akhirnya kereta berangkat lagi, sepuluh menit kemudian. Di gerbong sekarang tinggal aku dan si mbak. Aku tengah sibuk dengan gawai, si mbak celingukan melihat ke luar jendela.

Jarak Bogor ke Cilebut tidak jauh. Ditempuh dengan kereta hanya 10 menit. Tetapi malam ini , mungkin karena kelam dan hujan, kereta terasa tak laju. Hampir tengah perjalanan, kereta berhenti mendadak. Kami terhenyak. Pendingin gerbong yang biasa berdesis berisik pun mati. Eh, lalu lelampu ikut berkedip beberapa saat. Lalu mati. Eww… Untung layar gawaiku masih nyala, jadinya tak terlalu gulita.

Eh, tapi si mbak tadi ke mana ya? Dia tak ada lagi di hadapanku. Sebuah dering masuk ke gawai, kuangkat. Dari rumah, menanya apa aku sudah di jalan pulang. Kujawab sejenak sambil memandang ke luar jendela. Mendung belum usai, tetapi karena lampu gerbong mati, pandangan menyesuaikan. Bentuk-bentuk di luar mulai terlihat. Gerumbul pepohon di kejauhan. Tanah lapang sedikit, bentuk-bentuk bertonjolan… batu nisan. Satu dua pokok kemboja di sudut lapangan. Tetiba aku bergidik… kalau tak salah, di titik ini tadi si mbak menunjuk arah rumahnya.

@30haribercerita
#30haribercerita
#30hbc1922
#30hbc19slr
#pulang

Tiba pada sebuah titik, aku ingin kembali
Yang kau pernah bawaku ke sana
Kaukenalkan pada batas, membuatku bimbang untuk menyeberang

Aku senang, sebelah kakiku sudah di sana, waktu itu
Aku janji tak akan menyeret seluruh diriku
Kau tersenyum dengan genggaman menggamit ragu

Kita tak pernah menyebrang, saat itu … hingga kini
Tapi aku yakin di salah satu malam kita yang terpisah,
kita sama merindukannya

#30hbc19tenang

Harap tenang,
Kawan kita ini sedang menyeberang.
Dia perlu segenap kekuatan dan segala akal untuk berhasil melewatinya.
Beberapa hari ini dia telah bersiap sehingga tak gentar ‘tuk tinggalkan sarang.
Meskipun dia tak tahu pasti apa ‘kan dijelang.
Demikian juga orang-orang yang biasa menyemangatinya, sudah tahu ia akan ke mana, bukan sesuatu yang tak pasti.
Mereka sudah tahu, semua akan kebagian.

Harap tenang,
Jangan membuatnya bimbang.
Karena menjelang seberang ia akan ditanyai.
Pertanyaan, yang kabarnya sederhana, tapi tak bisa dimuslihati.
Pertanyaan yang akan dijawab oleh pelaku, tidak lagi diwakili kata. Sebab di sana tak ada lagi yang tersembunyi.

Tenanglah,
Jangan antarkan dia dalam derai dan jeri.
Jarak hanya ilusi bagi kita yang akrab materi.
Cepat atau lambat kita akan jumpa lagi.
Usah pula resah dengan perbekalan, cukup tawakal dengan takdir suratan

Harap tenang,
Kematian seharusnya tidak lagi menakutkan.
Ia jembatan dari tubuh ada menjadi tiada;
tetapi jiwa tetap merdeka

@30haribercerita
#30haribercerita
#30hbc1918
#30hbc19tenang
#30hbc19slr